Pinisi, Warisan Budaya Takbenda kemanusiaan UNESCO Dari Indonesia
ReyGina Wisata | Setelah mempunyai 8 Warisan Budaya Takbenda UNESCO ibarat Wayang, Keris, Batik, Angklung, Tari Saman, Noken Papua, Tiga Tari Bali dan Program Pendidikan Bati Di Pekalongan, Kini Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan sesudah dalam sidangnya yang ke-12 yang berlangsung di Pulau Jeju, Korea Selatan pada tanggal 7 Desember 2017 menetapkan Pinisi sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan bersama dengan 33 Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan lainnya dari seluruh dunia ibarat yang kami kami lansir dari laman ich.unesco.org.
Pinisi yakni kapal layar tradisional khas Indonesia yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan atau tepatnya dari Desa Bira, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan dimana 70 persen penduduknya mencari nafkah mencari nafkah dengan pekerjaan yang berkaitan dengan pembuatan kapal dan navigasi.
Kapal Pinisi telah dipakai di Indonesia semenjak beberapa era yang kemudian atau telah dipakai sekitar tahun 1500-an. Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada era ke-14, Pinisi pertama kali dibentuk oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar ke negeri Cina untuk meminang Putri Cina yang berjulukan We Cudai.
Sawerigading berhasil ke negeri Cina dan memperistri Putri We Cudai. Setelah usang tinggal di negri Cina Sawerigading kembali ke kampung halamanya dengan menggunakan Kapal Pinisi nya ke Lawu. Namun dikala menjelang masuk ke Perairan Lawu, kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di Desa Ara, Tanah Lemo dan Bira.
Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit penggalan kapal tersebut menjadi bahtera yang kemudian dinamakan Pinisi.Orang Ara yakni pembuat tubuh kapal di Tana Lemo kapal tersebut kemudian di rakitdan orang Bira yang merancang kapal tersebut menjadi Pinisi dan ketujuh layar lahir dari pedoman orang-orang Bira.
Ritual Pembangunan Pinisi
Upacara kurban untuk pembuatan Perahu Pinisi yakni salah satu dimana kemegahan Pinisi dilahirkan para pembuat bahtera tradisional ini, yakni orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira. yang secara tuun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan bahtera ini. Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari kelima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimaidalle' na) yang artinya rezeki sudah ditangan, Sedangkan angka tujuh (natujuanggi dalle' na) yang berarti selalu sanggup rezeki. Setelah sanggup hari baik, kemudian kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni pohon tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu diadaptasi dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu diadaptasi dengan arah urat kayu biar kekuatannya terjamin. Setelah semua materi kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.
Peletakan lunas juga menggunakan upaca khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakan menghadap ke arah timur laut. Balok lunas bab depan merupakan simbil lelaki. Sedang balok lunas bab belakang diartikan sebagai simbol wanita. Setelah dimantrai, bagaian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan menggunakan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti.
Baca Juga : 10 Tempat Wisata Menarik Di Bulukumba, Sulawesi Selatan
Ujung lunas tang sudah dipotong dilarang menyentuh tanah, Bila balok bab depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedangan potongan balok lunas bab belakang di simpan di rumah, dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang untuk membawa rezeki.
Pemasangan papan pengapit lunas disertai dengan Upacara Kalebiseang. Upacara Anjarreki yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil hingga keatas dengan ukuran yang lebih lebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk Perahu Pinisi yakni 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, Diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakan kemudi bab bawah.
Apabila tubuh bahtera sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan a'panisi yaitu memasukan majun pada sela kapal. Gunanya untuk merekat sambungan papan supaya kuat, Dengan menggunakan sejenis kulit dari Pohon Barruk. Selanjutnya dilakukan allepa yang mendempul. Bahan dempul ini terbuat dari adonan kapur dan minyak kelapa. adonan tersebut diaduk selama sekitar 12 jam yang dikerjakan oleh sedikitnya 6 orang. Untuk kapal seberat 100 ton diharapkan 20 kilogram dempul tubuh kapal. Sentuhan terakhir yakni menggosok dempul dengan menggunakan kulit pepaya,
Proses terakhir kelahiran Kapal Pinisi adalah peluncurannya. Upacara selamatan diadakan kembali. Peluncuran kapal diawali dengan upacara budbahasa Appasii yaitu ritual yang bertujuan untuk menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sedinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri dan panno-panno yang diikat bersama pimping.
Dedaunan dimasukkan kedalam air dan kemudian dipercikan dengan cara dikipas-kipaskan ke sekeling perahu. Untuk bahtera berbobot kurang dari 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing, Sedangkan untuk Kapal Pinisi diatas 100 ton, dipotong seekor sapi. Setelah dipotong, kaki depan Kambing atau Sapi dipotong bab lutut kebawah digantung di anjungan sedangkan kaki belakang digantung di buritan Pinisi. Maknanya untuk memudahkan dikala peluncuran layaknya jalannya hewan secara normal.
Selanjutnya ada Upacara Ammossi yaitu upacara derma sentra pada pertengahan lunas bahtera dan sesudah itu bahtera ditarik ke laut. Pemberian sentra ini merupakan istilah yang didasarkan pada kepercayaan bahwa bahtera yakni "anak" punggawa atau Panrita Lopi. Sehingga dengan demikian menurut kepercayaan Upacara Ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang gres lahir. Ketika Kapal Pinisi sudah mengapung ke laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran kapal dilakukan pada dikala air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias kepala tukang, sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk disebelah kiri tunas. Doa atau mantra pun diucapkan.
Kapal Pinisi Masa Kini
Di era globalisasi Kapal Pinisi sebagai kapal barang berubah fungsi menjadi kapal pesiar glamor komersial maupun ekspedisi yang didanai oleh investor lokal maupun luar negeri. Dengan interior glamor dan dilengkapi dengan peralatan menyelam, permainan air untuk wisata maritim dan awak yang terlatih dan diperkuat dengan teknik modern.
Saat ini, Kapal Pinisi juga menjadi lambang untuk gerakan WWF, jadwal pelestarian Ikan Hiu dari WWF dan pernah dipakai oleh perusahaan populer di Indonesia yaitu Bank BNI.
Hingga dikala ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai sebagai produsen Kapal Pinisi dan semoga akan terus mempertahankan tradisi memproduksi Kapal Pinisi yang telah menaklukan tujuh samudra.
Bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional, Kapal Pinisi telah menjadi lambang kerajinan pelayaran orisinil Nusantara.
Kapal Pinisi telah dipakai di Indonesia semenjak beberapa era yang kemudian atau telah dipakai sekitar tahun 1500-an. Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada era ke-14, Pinisi pertama kali dibentuk oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar ke negeri Cina untuk meminang Putri Cina yang berjulukan We Cudai.
Sawerigading berhasil ke negeri Cina dan memperistri Putri We Cudai. Setelah usang tinggal di negri Cina Sawerigading kembali ke kampung halamanya dengan menggunakan Kapal Pinisi nya ke Lawu. Namun dikala menjelang masuk ke Perairan Lawu, kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di Desa Ara, Tanah Lemo dan Bira.
Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit penggalan kapal tersebut menjadi bahtera yang kemudian dinamakan Pinisi.Orang Ara yakni pembuat tubuh kapal di Tana Lemo kapal tersebut kemudian di rakitdan orang Bira yang merancang kapal tersebut menjadi Pinisi dan ketujuh layar lahir dari pedoman orang-orang Bira.
Ritual Pembangunan Pinisi
Upacara kurban untuk pembuatan Perahu Pinisi yakni salah satu dimana kemegahan Pinisi dilahirkan para pembuat bahtera tradisional ini, yakni orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira. yang secara tuun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan bahtera ini. Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari kelima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimaidalle' na) yang artinya rezeki sudah ditangan, Sedangkan angka tujuh (natujuanggi dalle' na) yang berarti selalu sanggup rezeki. Setelah sanggup hari baik, kemudian kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni pohon tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu diadaptasi dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu diadaptasi dengan arah urat kayu biar kekuatannya terjamin. Setelah semua materi kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.
Peletakan lunas juga menggunakan upaca khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakan menghadap ke arah timur laut. Balok lunas bab depan merupakan simbil lelaki. Sedang balok lunas bab belakang diartikan sebagai simbol wanita. Setelah dimantrai, bagaian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan menggunakan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti.
Baca Juga : 10 Tempat Wisata Menarik Di Bulukumba, Sulawesi Selatan
Ujung lunas tang sudah dipotong dilarang menyentuh tanah, Bila balok bab depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedangan potongan balok lunas bab belakang di simpan di rumah, dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang untuk membawa rezeki.
Pemasangan papan pengapit lunas disertai dengan Upacara Kalebiseang. Upacara Anjarreki yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil hingga keatas dengan ukuran yang lebih lebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk Perahu Pinisi yakni 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, Diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakan kemudi bab bawah.
Apabila tubuh bahtera sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan a'panisi yaitu memasukan majun pada sela kapal. Gunanya untuk merekat sambungan papan supaya kuat, Dengan menggunakan sejenis kulit dari Pohon Barruk. Selanjutnya dilakukan allepa yang mendempul. Bahan dempul ini terbuat dari adonan kapur dan minyak kelapa. adonan tersebut diaduk selama sekitar 12 jam yang dikerjakan oleh sedikitnya 6 orang. Untuk kapal seberat 100 ton diharapkan 20 kilogram dempul tubuh kapal. Sentuhan terakhir yakni menggosok dempul dengan menggunakan kulit pepaya,
Proses terakhir kelahiran Kapal Pinisi adalah peluncurannya. Upacara selamatan diadakan kembali. Peluncuran kapal diawali dengan upacara budbahasa Appasii yaitu ritual yang bertujuan untuk menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sedinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri dan panno-panno yang diikat bersama pimping.
Dedaunan dimasukkan kedalam air dan kemudian dipercikan dengan cara dikipas-kipaskan ke sekeling perahu. Untuk bahtera berbobot kurang dari 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing, Sedangkan untuk Kapal Pinisi diatas 100 ton, dipotong seekor sapi. Setelah dipotong, kaki depan Kambing atau Sapi dipotong bab lutut kebawah digantung di anjungan sedangkan kaki belakang digantung di buritan Pinisi. Maknanya untuk memudahkan dikala peluncuran layaknya jalannya hewan secara normal.
Selanjutnya ada Upacara Ammossi yaitu upacara derma sentra pada pertengahan lunas bahtera dan sesudah itu bahtera ditarik ke laut. Pemberian sentra ini merupakan istilah yang didasarkan pada kepercayaan bahwa bahtera yakni "anak" punggawa atau Panrita Lopi. Sehingga dengan demikian menurut kepercayaan Upacara Ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang gres lahir. Ketika Kapal Pinisi sudah mengapung ke laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran kapal dilakukan pada dikala air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias kepala tukang, sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk disebelah kiri tunas. Doa atau mantra pun diucapkan.
Kapal Pinisi Masa Kini
Di era globalisasi Kapal Pinisi sebagai kapal barang berubah fungsi menjadi kapal pesiar glamor komersial maupun ekspedisi yang didanai oleh investor lokal maupun luar negeri. Dengan interior glamor dan dilengkapi dengan peralatan menyelam, permainan air untuk wisata maritim dan awak yang terlatih dan diperkuat dengan teknik modern.
Saat ini, Kapal Pinisi juga menjadi lambang untuk gerakan WWF, jadwal pelestarian Ikan Hiu dari WWF dan pernah dipakai oleh perusahaan populer di Indonesia yaitu Bank BNI.
Hingga dikala ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai sebagai produsen Kapal Pinisi dan semoga akan terus mempertahankan tradisi memproduksi Kapal Pinisi yang telah menaklukan tujuh samudra.
Bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional, Kapal Pinisi telah menjadi lambang kerajinan pelayaran orisinil Nusantara.